Ferdinand de Saussure
1.1 Biografi Ferdinand de Saussure
Ferdinand
de Saussure (lahir di Jenewa, 26 November 1857 – dari keluarga Protestan Perancis (Huguenot)
yang ber-emigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada akhir
abad ke-16, meninggal di Vufflens-le-Château, 22 Februari 1913 pada umur
55 tahun) adalah linguis Swedia yang
dipandang sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika. Karya
utamanya, Cours de linguistique générale diterbitkan pada tahun 1916, tiga tahun
setelah kematiannya, oleh dua orang mantan muridnya, Charles Bally and Albert
Sechehaye, berdasarkan catatan-catatan dari kuliah Saussure di Paris. Konsepnya
yang paling terkenal adalah pembedaan tanda bahasa menjadi dua
aspek, yaitu signifiant (yang memaknai) dan signifie (yang
dimaknai). Dalam semiologi, Saussure
berpendapat bahwa bahasa sebagai
"suatu sistem tanda yang mewujudkan ide" dapat dibagi menjadi dua
unsur: langue (bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang
digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole
(ujaran), realisasi individual atas sistem bahasa.
Sejak kecil, Saussure memang sudah tertarik dalam bidang
bahasa. Pada tahun 1870, ia masuk Institut Martine, di Paris. Dua tahun
kemudian (1872), ia menulis “Essai sur les langues” yang ia persembahkan
untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang menolong dia untuk masuk ke Institut
Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun 1874 ia belajar fisika dan kimia di
universitas Genewa (sesuai tradisi keluarganya), namun 18 bulan kemudian, ia
mulai belajar bahasa sansekerta di Berlin. Rupanya, Saussure semakin tertarik
pada studi bahasa, maka pada 1876-1878 ia belajar bahasa di Leipzig; dan pada
tahun 1878-1879 di Berlin. Di perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh besar
linguistik, yakni Brugmann dan Hübschmann.
Ketika masih mahasiswa, ia telah membaca karya ahli
linguistik Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life
and Growth of Language: and outline of Linguistic Science (1875); buku ini
sangat mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878,
Saussure menulis buku tentang Mémoire sur le systéme primitif des voyelles
dans les langues indo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba Dalam
Bahasa-bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar doktor (dengan
prestasi gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig dengan
disertasi: De l’emploi du génetif absolu en sanscrit (Kasus Genetivus
Dalam Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris.
Tahun 1881 menjadi dosen di salah
satu universitas di Paris. Setelah lebih dari sepuluh tahun mengajar di Paris,
ia dianugrahkan gelar profesor dalam bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa
dari Universitas Genewa. Berkat ketekunanya mendalami struktur dan filsafat
bahasa, Saussure C. Menurut beliau, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa
alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan benda (substansial)
1.2 PANDANGAN
SAUSSURE YANG MEMPENGARUHI LEVIS-STRAUSS
Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan penemu
linguistik modern (Modern Linguistics). Gagasan terbesar de Saussure adalah
pada teori umum sistem tanda (general theory of sign system) yang disebutnya
dengan ilmu Semiologi (Semiology) (Winfried Noth, 1995; 56). Sebagai penemu
konsep linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap sebagai orang yang
paling berpengaruh terhadap teori Strukturalisme.
Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya
mengenai hakekat gejala bahasa. Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep
struktural dalam bahasa dan juga semiologi atau yang sekarang disebut dengan
semiotik (Ahimsa, 2006). Ada lima pandangan de Saussure yang mempengaruhi
Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu:
1. Signified (tinanda) dan signifier (penanda)
Bahasa
adalah suatu sistem tanda (sign). De Saussure berpendapat bahwa elemen dasar
bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda kebahasaan (linguistic sign),
yang wujudnya tidak lain adalah kata-kata.
Tanda
adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut signifier, dengan
sebuah ide atau tinanda yang disebut signified, walaupun penanda dan tinanda
tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai
komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler;
1976, 19 via Ahimsya, 2006 h. 35).
2 Form (wadah) dan content (isi)
Wadah
atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep ini, isi boleh saja
berganti tetapi makna dari wadah masih tetap berfungsi. Untuk menjelaskan
konsep ini memang agak sulit. Kiasan yang sering digunakan untuk menggambarkan
kedudukan wadah (form) dan isi adalah pergantian salah satu fungsi dari
komponen permainan catur.
3 Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole)
Konsep langue merupakan
aspek yang memungkinan manusia berkomunikasi dengan sesama. Inilah kenapa
langue membicarakan juga aspek sosial dalam linguistik. Dalam langue terdapat
norma-norma, aturan-aturan antarperson yang tidak disadari tetapi ada pada
setiap pemakai bahasa. Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat
individu, ia bisa mencerminkan kebebasan pribadi seseorang.
4 Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis
(Diachronic)
De Saussure meyakini
akan adanya proses perubahan bahasa. Oleh karena itu keadaan ini menuntut
adanya perbedaan yang jelas antara fakta-fakta kebahasasan sebagai sebuah
sistem, dan fakta-fakta kebahsaan yang mengalami evolosi (Culler, 1976, via
Ahimsa, 2006; 46). Karena sifatnya yang evolutif maka tanda kebahasaan
sepenuhnya tunduk pada proses sejarah.
5 Sintagmatik dan Paradigmatik
Dalam kontek ini de
Saussure menyatakan bahwa manusia menggunakan kata-kata dalam komunikasi bukan
begitu saja terjadi. Tetapi menggunakan pertimbangan-pertimbangan akan kata
yang akan digunakan. Kita memiliki kata yang mau kita gunakan sebagaimana
penguasaan bahasa yang kita miliki. Disinilah hubungan sintagmatik dan
paradigmatik itu berperan.
Hubungan sintagmatik
dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun
kata-kata sebagai konsep (Ahimsa, 2006; 47).
2.1
TINJAUAN TEORITIK
tentang SEMIOTIK
2.1.1
Tokoh Semiotik
Kalau
kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada,hampir sebagian besar
menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya
Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai
Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam
bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam
semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika,
Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist
semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah
Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922
- 1993), Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva
(1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah
Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu
antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam
psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang
telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik
struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda
sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan
dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative.
Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk
struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial
kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis
hubungan - hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system,
dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat
dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkem-bangan
kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang
seolah-olah lahir sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam
kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan
semiotik (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan
tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi
bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan
strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya.
Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya
melanjutkan sehingga ciri -ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan
(kontinuitas) dan
yang
sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan ke
-budayaan
sebagai
sistem tanda (evolusi).
2.1.2
Makna kata ‘ tanda ‘
Bagi
de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu
jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam
jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada
selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa
Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi
yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya
sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon
tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara
penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini
disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu adalah
mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by society to
enable members of society to use their language faculty (de Saussure,
1986:10).
Oleh
sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemu –fakatan
(konvensi) di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable) atau
sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut
seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga
dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adany a batas-batas (boundaries)
yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gambling
mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa
Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda
selalu akan lepas dar i jang-kauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah
dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang
rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya,
baik dalam tataran para –digmatik maupun sintagmatik. Ini dimung-kinkan karena
operasi sebuah sistem bahasa menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative
difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban
atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is
not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau
bajing.
Dengan
demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics
is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotics adalah
studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan
sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain
seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara
de Saussure me-nyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi
tentang aturan tanda –tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science
which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce
(1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to
logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody
for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan
bahwa every thought is a sign.
van
Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat
berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai
ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam
dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang
-kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita
mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita
bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut
menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan
menginterpretasikannya sebagai tanda.
Kedua,
tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat
ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau
ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga,
merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini
Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia
‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
Keempat,
tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan
sifat inter-pretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya
terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran
‘di sana duduk -duduk orang Jerman’.
Kelima,
sesuatu hanya dapat merupa -kan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce
menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap
Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui
bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata
itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan
lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan,
perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang
dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda
yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan
interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi.
2.1.3
Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan
semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah
semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik
dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur,
2004:95).Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada
adanya hal lain.Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan
dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest,
1993:1).
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari
sederetan luas obyek - obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai
tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai
tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala
susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik
merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala
sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad
kedua puluh.
Para ahli semiotik modern mengatakan
bahwa analisis semiotik modern telah di –warnai dengan dua nama yaitu seorang
linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857 - 1913) dan
seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839 - 1914).
Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut
telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda.
Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi
keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan bahwa de
Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics
(1913).
Dalam buku itu de Saussure memba
-yangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga
menjelas -kan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu
dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia
menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept
and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah
tanda ( sign). Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu
komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau
konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa
selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfung si
sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang
memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure,
1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik
dapat berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter
dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun
dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode,
upacara, kepercayaan dan lain -lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian
mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles
Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan
de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih l
azim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa
Kontinental.
Siapakah
Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling
orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya ia terlalu
orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam
kesusahan dan meninggal dalam kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak
banyak diberikan oleh teman -temannya. Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan
tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan
sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss
menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of
Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang
dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan
Pierce.
Peirce selain seorang filsuf juga
seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce
akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah
ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara
harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia
juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Semakin
lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya setidaknya
sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest, 1993:10). Dalam
analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan sifat ground menjadi
tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns. Qualisigns
adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh, sifat
merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda pada bidang yang
mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampiln
ya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan
merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan
atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas
dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda
lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu juga dengan mengangguk,
mengerutkan alis, berjabat tangan dan sebagainya.
Untuk tanda dan denotatumnya Peirce
memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu ikonik,indeksikal dan simbol.
Ikonik adalah sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa
dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah
sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya,
sedangkan symbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam masyarakat. Tabel
berikut menunjukkan hubungan ketiganya.
Model tanda yang dikemukakan Peirce
adalah trikotomis atau triadik, d an tidak memiliki ciriciri struktural sama
sekali (Hoed, 2002:21). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif
yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that
represent ssomething else). Proses pemakna-an tanda pada Peirce mengikuti
hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) -
Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara
fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Ke
-mudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R
dan O.
Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak
hanya representatif, tetapi juga inter -pretattif. Teori Peirce tentang tanda
mem-perlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah
struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di
atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan
simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan
pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia
melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu
yaitu cerobong pabrik (O).
Setelah
itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban mobil. Tanda
seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan
terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil,
maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang
bersangkutan. Proses selanjut -nya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil
sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni
hubungan antara R dan O menunjukkan identitas.
Akhirnya apabila di tepi pantai se
-seorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada
‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya
untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan
antara R dan O bersifat konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan
suatu tanda bertahap -tahap. Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni
saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah
keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan
dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat
tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat
tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting
untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama
pada semua anggota kebudayaan tersebut. Salah seorang sarjana yang secara
konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes (1915 -
1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya - karya
sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes
komponen - komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda
bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan si stem
citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk memp-ertahankan dan
menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Selanjutnya Barthes (1957 dalam de
Saussure) menggunakan teori signifiant - signifie yang dikembangkan
menjadi teori tentang metabaha sa dan konotasi. Istilah signifiant menjadi
ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan
bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) ter-tentu, sehingga membentuk tanda (
sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin
berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes,
ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari
satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala meta
-bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pe
-maknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes
disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut sistem sekunder. Sistem
sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi
disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini
tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham
pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Dalam
kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek
emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes
demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa
sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk
menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang dikembangkan Barthes juga
disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar
membatasi diri pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan
pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra
ia mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van
Zoest, 1993:4).
Aliran semiotik yang dipelopori oleh
Julia Kristeva dise but semiotika eksplanatif. Ciri aliran ini adalah adanya
sasaran akhir untuk mengambil alih kedudukan filsafat. Karena begitu terarahnya
pada sasaran, semiotik ini terkadang disebut ilmu total baru ( de nieuwe totaalwetwnschap).
Dalam semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat itu
diduduki oleh pengertian produksi arti.
Penelitian yang menilai tanda terlalu
statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis, diganti oleh penelitian
yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika
jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis
mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses
zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme (van Zoest, 1993:5).
Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman
mengungkapkan bahwa … culture is constructed as ahierarchy of semantic
systems (Lotman, 1971:61). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena
hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya,
baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang
berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan
mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna.
Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah
satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem
kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam
komunikasi antar -anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan
komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak,
pastilah dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak
terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa b unyi
prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya
identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik
bagi penutur maupun bagi penanggapnya.
2.1.4
Macam – macam Semiotik
Sampai
saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal
sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain
semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif,
natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik
analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan
bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan
makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang
terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
Semiotik
deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita
alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang
disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang
khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik
kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam
kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem
tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore).
Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas
sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik
sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan
oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambing rangkaian
kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah
sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
2.1.5
Bahasa sebagai Sistem
Semiotik
Bahasa
dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan
makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan
itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional
yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki
fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan
untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah
informasi dan dialog antar -diri sendiri.
Kajian
bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik
hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2)
hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, (3)
hubungan antara kode dengan pemakainya. Studi tentang sistem tanda sehubungan
dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda
lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik
(Aminuddin, 1988:37).
Sejalan
dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam
sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut
adalah: (1) sintaktik, yakni komponen yang be rkaitan dengan lambang atau sign
serta bentuk hubungan-nya, (2) semantik, yakni unsur yang ber -kaitan
dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, (3)
pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan
antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau
dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat
dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media non -bahasa
atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat
pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media lisan dengan media
tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya
dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau
pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu.
Kaidah penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata
lain sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan
dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang
mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem hubungannya sendiri (Aminuddin,
1988:38).
Unsur
pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau interpreter),
menjadi
bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu cabang kajiannya
karenakeberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih
luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan
tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang
dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin
kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan
bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of language,
not on the parole.
3.1 KESIMPULAN
Hari-hari ini bahasa dipandang
begitu penting oleh kaum strukturalis dan filsuf lainnya. Mengapa? Karena bahasa
adalah alat aktualisasi dan artikulasi diri. Kita mampu memaknai pengalaman
kita lewat bahasa. Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan
manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan,
ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau
kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat
menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat,
dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi
fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat
untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan
integrasi-interaktif dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus
adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni
(sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Walaupun demikian, kita harus mengakui bahwa ada banyak sisi
negative dari bahasa. Dewasa ini, bahasa bukan hanya difungsikan sebagai media
komunikasi tetapi bahasa juga menjadi medan persembunyian diri. Bahasa menjadi
ranah memperjuangkan ideologi-ideologi tersembunyi yang sering menindas dan
mendatangkan neraka bagi yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar