Biografi Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein dikenal luas sebagai tokoh filsafat
bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut
sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein I, yang
ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus, Wittgenstein
begitu ketat memaparkan apa yang diistilahkan sebagai “bahasa logika”, yang
mengidealisasikan keharusan kesesuaian (uniformitas) logis antara struktur
bahasa dengan stuktur realitas, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara
logis, maka pada Wittgenstein II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical
Investigations, Wittgenstein “seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan
menyatakan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman
(poliformitas) makna sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan
kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary
language philosophy) yang berpuncak pada istilah “tata permainan bahasa” (language
game).
1.1
Wittgenstein I dan Bahasa Logika
Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa sulitnya memahami persoalan-persoalan yang disajikan filsafat. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam berfilsafat.
Apa yang dimaksud dengan bahasa logika oleh Wittgenstein?
Pertama, proposisi sebagai alat bahasa. Proposisi
diterjemahkan sebagai “gambaran realitas, jika saya memahami proposisi itu
berarti saya mengetahui bentuk-bentuk peristiwa/keadaan-keadaan faktual yang
dihadirkan melalui proposisi tersebut…dan saya dapat dengan mudah memahami
proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi pengertian di dalamnya.”Begitu
prinsipilnya proposisi di mata Wittgenstein, baginya, ia merupakan hal mutlak
yang diperlukan untuk mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna” (dan itulah
yang dimaksud proposisi) yang menunjuk pada suatu bentuk peristiwa atau pun
keberadaan suatu peristiwa (states of affairs).
Dengan demikian, sebuah ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi bila berhasil menunjukkan pengertian tertentu dan terang tentang suatu realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi itu akan bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau penyataan filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu ungkapan yang tidak logis. Inilah yang pungkasnya oleh Wittgenstein dinyatakan dengan tegas sebagai keharusan untuk membangun kesesuaian antara struktur bahasadengan struktur realitas.
Dengan demikian, sebuah ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi bila berhasil menunjukkan pengertian tertentu dan terang tentang suatu realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi itu akan bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau penyataan filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu ungkapan yang tidak logis. Inilah yang pungkasnya oleh Wittgenstein dinyatakan dengan tegas sebagai keharusan untuk membangun kesesuaian antara struktur bahasadengan struktur realitas.
Kedua, fakta yang dikandung realitas. Sebagaimana Russel
yang mengenalkan istilah isomorfi(kesesuaian),
Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara bahasa
(proposisi) dengan realitas atau dunia fakta. Suatu fakta realitas haruslah
dikandung oleh obyek perbincangan dalam bahasa dengan pengertian yang jelas.
Di sinilah pentingnya untuk menggunakan bahasa logika yang sempurna, agar setiap pemakaian alat-alat bahasa (kata dalam kalimat) mempunyai suatu fungsi saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja. Dan suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna
Di sinilah pentingnya untuk menggunakan bahasa logika yang sempurna, agar setiap pemakaian alat-alat bahasa (kata dalam kalimat) mempunyai suatu fungsi saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja. Dan suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna
terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas).
Kesesuaian antara penggunaan alat
bahasa (gramatikal) dan makna yang dikandung obyek realitas yang diperbincangkannya
(semantik) akan memudahkan siapa pun dalam memahami sebuah ungkapan filsafat
(proposisi), karena pengertian yang dinyatakannya menggambarkan dengan jelas
fakta yang dikandung realitas itu.
Untuk lebih detail memahami karakter Wittgenstein I ini, bahasa logika itu, penting sekali untuk melihat tiga aspek mendasar yang dituliskan Wittgenstein dalam Tractatus itu:
Pertama, Teori Gambar. Von Wright, sahabat Wittgenstein, menjelaskan apa yang dimaksud Teori Gambar dengan ungkapan berikut:
Untuk lebih detail memahami karakter Wittgenstein I ini, bahasa logika itu, penting sekali untuk melihat tiga aspek mendasar yang dituliskan Wittgenstein dalam Tractatus itu:
Pertama, Teori Gambar. Von Wright, sahabat Wittgenstein, menjelaskan apa yang dimaksud Teori Gambar dengan ungkapan berikut:
“Fungsi
Teori Gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu
dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga
kita bisa saja membalik arti kiasannya (analogi), dengan mengatakan bahwa
proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai
antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara ini dilakukan dengan
menggabungkan bagian-bagian proposisi, di mana struktur proposisi menggambarkan
kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas: yaitu suatu kemungkinan
mengenai keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.”
Dari paparan Wright tersebut, bisa dipahami bahwa kata kunci dalam Teori Gambar Wittgenstein adalah tentang hubungan antara proposisi yang diungkapkan melalui bahasa dengan realitas keberadaan suatu peristiwa. Adanya prinsip “kesesuaian” antara “unsur-unsur gambar” (inilah proposisi) dengan “unsur-unsur realitas” (makna yang ditunjuk proposisi atau realitas) menjadi syarat mutlak kebermaknaan sebuah ungkapanfilsafat..
Kedua, atomisme logis. Untuk memahami konsep atomisme logis Wittgenstein, coba perhatikan ilustrasi ini. Sebuah pintu merupakan satu bagian dari beragam bagian dari sebuah rumah, mulai dari keberadaan dinding, jendela, kaca, atap, lantai, dan sebagainya. Setiap bagian atau obyek yang membentuk bangunan rumah itu saling berhubungan, memiliki interralasi. Maka memahami rumah sebagai sebuah realitas bukanlah terletak pada berapa obyek yang menopangnya, tapi bagaimana obyek-obyek kecil itu memiliki interrelasi dan keadaan hubungan kausalitas, kuantitas, dan kualitas dalam ruang dan waktu. Obyek-obyek pembangun realitas itulah yang dimaksudkan sebagai atomisme oleh Wittgenstein, atau ada juga yang mengistilahkannya sebagai “proposisi elementer”. Pintu, dalam ilustrasi tersebut,adalahfaktaatomis.
Demikian pula dalam memahami dunia ini. Menurut Wittgenstein, dunia ini harus diterangkan dan dijelaskan dalam bagaimana obyek-obyek atomis itu berhubungan dan berada di antara satu dengan lainnya. Dunia ini terdiri dari fakta-fakta yang keseluruhannya saling berhubungan (totalitas fakta). Kompleksitas fakta itu jika diuraikan terus-menerus akan kian mengecil, hingga kemudian fakta terkecil, yang tidak bisa dipecah lagi, dan itulah fakta atomis. Maka, akhirnya, bagi Wittgenstein, menguraikan bagaimana fakta-fakta atomis itu ada, berhubungan, dan membangun sebuah realitas atau keadaan harus dilakukan dengan struktur logika. Koherensi antara proposisi elementer (fakta atomis) dengan sebuah peristiwa, keadaan, atau realitas hanya bisa dijelaskan dengan nalar logis yang terang pula.
Ketiga, konsep formal dan konsep nyata. Pembeda paling terang antara konsep formal dan konsep nyata dalam filsafat Wittgenstein ialah pada struktur logikanya. Jika konsep nyata berhubungan langsung dengan sebuah realitas yang jelas, terarah, dan langsung terpahami, sebaliknya konsep formal menunjuk pada suatu variable yang baru akan terpahami jika “diisi” oleh konsep nyata. Dalam bahasa lain, bisa dinyatakan, konsep nyata berada di dalam tubuh konsep formal dan konsep formal baru akan terpahami jika dirasuki oleh konsep-konsep nyata. Jadi, jika konsep formal bisa berubah-ubah sesuai dengan kandungan konsep nyata yang memasukinya, sementara konsep nyata secara otomatis menunjuk pada suatu kondisi atau fakta realitas yang jelas arahnya.
Cara mudah untuk menguji apakah sebuah ungkapan itu termasuk konsep formal atau konsep nyata ialah dengan cara mengajukan pertanyaan: “Apakah kita bisa memahami ungkapan itu untuk mengiyakan atau menolaknya.” Jika kita bisa memahaminya tanpa perlu verifikasi, maka itulah konsep nyata. Sebaliknya, jika kita tidak mampu memahaminya tanpa verifikasi, maka itulah konsep formal.
Contoh yang bisa menjelaskan ini bisa diperhatikan ilustrasi berikut:
“Di pojok sana, ada beberapa buku.” Mendengar kalimat ini, kita akan dengan mudah langsung mendapatkan makna (proposisi) terhadap buku (realitas). Tanpa perlu melakukan verifikasi, kita langsung mengerti bahwa buku adalah sebuah obyek dengan ciri begini dan begini yang nyata wujudnya. Inilah yang dimaksud konsep nyata.
Bandingkan dengan ilustrasi berikut:
“Perhatikan obyek-obyek tersebut.” Mendengar kalimat ini, kita tidak bisa langsung mengambil makna kalimat tersebut, lantaran kata “obyek-obyek” tidak bisa dinyatakan langsung dalam realitas. Inilah ciri dasar konsep formal. Kita baru akan bisa memahami apa yang dimaksud dengan kata “obyek-obyek” jika kemudian kalimat tersebut dilanjutkan dengan: “Ada buku, rokok, korek, HP, dan kopi”. Kalimat kedua ini adalah konsep nyata yang mengisi obyek-obyek itu dan kita bisa langsung memahami maknanya dalam kenyataan. Tapi makna konsep formal itu pun akan berubah jika kalimat penerusnya adalah: “Ada bartender, home band, LCD, AC, blower, meja, kursi, dan senyum manis waitress.” Kalimat penerus ini adalah konsep nyata yang mengisi konsep formal pertama, sehingga maknanya pun akan berubah.
Itulah sebabnya konsep formal sering dinyatakan sebagai “kandungan nilai nominal”, sementara konsep nyata adalah “kandungan nilai intrinsik”.
1.2
Wittgenstein
II: Bahasa Biasa dan Tata Permainan Bahasa (Language Game)
Pada era Wittgenstein II, karya popular Wittgenstein yang menandai pergeseran filosofisnya adalah Philosophical Investigations, yang ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan dekat dengan cerita detektif, yang diterbitkan dua tahun setelah kematiannya. Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.”
Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.
1. Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Pada era Wittgenstein II, karya popular Wittgenstein yang menandai pergeseran filosofisnya adalah Philosophical Investigations, yang ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan dekat dengan cerita detektif, yang diterbitkan dua tahun setelah kematiannya. Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.”
Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.
1. Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Munculnya filsafat bahasa biasa dipicu oleh kegalauan terhadap kegagalan bahasa logika dalam menjelaskan jubelan realitas. Fakta bahwa sangat banyak lalu-lintas bahasa dalam kehidupan nyata sehari-hari, yang menghasilkan makna-makna yang sangat beragam bahkan terhadap satu kata atau proposisi, memperlihatkan betapa bahasa logika tidak mampu menjawab keinginan dasar filsafat analitika untuk mengentaskan kerancuan makna bahasa. Batu pondasi filsafat bahasa sehari-hari ini menganut prinsip bahwa makna kata ditentukan oleh penggunaannya.
Jika filsafat bahasa logika mengidealkan ketunggalkan makna dalam suatu kata dan proposisi (uniformitas), sementara fakta keseharian memperlihatkan begitu banyak ragam makna yang muncul secara nyata, maka wajarlah kalau lahirnya filsafat bahasa biasa disambut luas untuk menjelaskan persoalan keragaman makna bahasa itu (poliformitas).
Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya,yang memproduksi keragaman makna nyata.
Jika dibandingkan dengan masa
Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan da-lamtigaprinsipsekaligus:
Pertama, bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan kea-daan faktualnya (state of affairs).
Kedua, bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggam-barkan suatu keadaan faktual.
Pertama, bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan kea-daan faktualnya (state of affairs).
Kedua, bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggam-barkan suatu keadaan faktual.
Ketiga, setiap jenis bahasa
dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, mes kipun pada pandangan
pertama barangkali sukar untuk dilihat.
Lepas dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein telahmeletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.
Lepas dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein telahmeletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.
2. Tata
permainan bahasa (language game).
Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu
permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur
telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat
penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan
tersebut. Apakah kita boleh menyalahi aturan yang telah ditentukan di sini?
Pelanggaran itu hanya menunjukkan bahwa kita tidak mengetahui petunjuk yang
sebenarnya tentang aturan permainan itu. Barangkali kita juga tidak dapat
memahami dengan baik petunjuk permainan yang menggariskan agar kita berpikir
tiga kali (berpikir tiga langkah ke depan) sebelum menggerakkan setiap biji
catur. Jika kita melihat penerapan peraturan ini di atas papan catur, maka
tentu kita akan merasa kagum dan tahu maksud atau tujuan suatu aturan
permainan…”
Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan lainnya, akan kehilangan maknanya.
“Tata aturan”, begitulah poinnya, seperangkat aturan yang melingkari sebuah permainan, termasuk dalam bahasa. Bahasa pun memiliki seperangkat tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainanbahasa(languagegame).
Sama halnya dengan pentingnya untuk mematuhi setiap aturan permainan dalam berbagai jenis permainan, misal bola, catur, volley, basket, dll., demikian pula dalam ragam permainan bahasa memiliki bentuk tata aturan permainan masing-masing yang tidak boleh dicampur-adukkan agar tidak memicu kekacauan bahasa dan maknanya. Misal, tata aturan permainan berbahasa dalam konteks ilmiah dan biasa atau keseharian. Kedua jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan berbahasa dan pemaknaannya.Apa yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa biasa. Demikian pulasebaliknya.
Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I.
Pemikiran Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”
“Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.
Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.
Misal lain, kata “rumah”. Jika konteks penggunaannya menunjuk pada bangunan, maka ia berarti sebuah “tempat tinggal”. Jika digunakan dalam konteks kebudayaan, ia berarti “akar budaya”. Jika digunakan dalam konteks politik, ia berarti “partai politik”.Danseterusnya.
Belum lagi bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks formal atau tidak. Kata “aku”, misalnya, jika digunakan dalam konteks non-formal, keseharian atau persahabatan, menghadirkan makna yang dekat, akrab, dan intim. Tapi jika kata “aku” digunakan dalam konteks formal, misal dalam sebuah seminar, jelas ia akan menimbulkan kesan tidak sopan, kurang pas, dan bahkan tidak menyenangkan. Karena itu, konteks formal dan non-formal ini pun harus diperhatikan dengan baik tata aturan permainannya, tidak boleh dicampur-adukkan, atau diabaikan, karena akan memicu kerancuan makna dan kesan bahasa dalam penggunaannya.
Lain lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata “permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”.
Demikian pula bila sebuah kata atau kalimat dipergunakan sesuai dengan konteks lawan bicara. Misal, kata “Tuhan” bila disampaikan kepada seorang anak kecil akan sangat sulit untuk dimengerti maknanya, sehingga kita membutuhkan kata lain yang lebih pas dengan konteks lawan bicara itu, misal “Pencinta” atau “Bapak”, dll. Misal lain, kata “filsafat”, jika digunakan dalam konteks pembicaraan dengan lawan bicara seorang petani di pelosok jauh, tentu akan sulit dipahami, kecuali bila diganti dengan kata “pemikiran”, “pendapat”, “pandangan”, “paham”, “usul”, dll.
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya, tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya. Kondisi ini sama persis dengan pentingnya untuk mengikuti tata aturan permainan bola saat kita bermain bola, agar permainan bola itu berjalan dengan terang dan baik, seperti tata aturan handball, corner, tendangan bebas, pinalti, lemparan ke dalam, teckling. Atau tata aturan permianan dalam race MotoGP, seperti through by thrue, jumping start, latest breaking, racing line, kualifikasi, lap, paddock, safety car, bendera putih, marshall,dll.
Atas dasar teori tata permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik persoalan mendasar dalam dunia filsafat yang memiliki kecenderungan untuk sangat sulit dipahami makna bahasa yang diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para filosof tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya.
Wittgenstein menguraikannya dalam peta berikut:
Pertama,
pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
Kedua, kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan dalamkemajemukan.
Ketiga, kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.
Wittgenstein juga menyorot tentang adanya kata-kata yang sepintas tampak memiliki makna umum dalam penggunaan konteks yang berbeda-beda. Bagi Wittgenstein, ini bukan berarti bahwa terdapat pengertian umum dalam sebuah kata meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Ini yang dianalogikannya sebagai “aneka kemiripan keluarga” (family resemblances):bahwa dalam sebuah keluarga tetap saja selalu terdapat perbedaan-perbedaan bentuk wajah, pikiran, sifat, dan perilaku, meskipun memiliki dasar kemiripan yang dekat.Ia tidak benar-benar sama, karenanya tidak bisa dinyatakan sebagai memiliki makna yang umum, tetapi hanya sekadar memiliki kemiripan-kemiripan yang dekat.
Kata “aku”, “engkau”, misalnya, memiliki makna yang umum yang melekat pada pihak si penutur (aku) dan lawan tuturan (engkau) dalam konteks penggunaan apa pun juga. Tetapi ini tidak berarti bahwa kata tersebut benar-benar steril dari konteks penggunaannya untuk dinyatakan sebagai adanya makna umum. Ia tetap terikat dengan konteks penggunaannya, tata aturan permainannya, sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai pembantah terhadap teori tata permainan bahasa ini. Kata “aku” atau “engkau” jika digunakan dalam keseharian, non-formal, memiliki makna sebagai keabrakan antara penutur dan lawan tuturan. Tetapi jika digunakan dalam situasi formal, missal terhadap atasan atau orang yang lebih tua, ia akan menimbulkan kesan tidak etis, tidak pas, tidak menghormati. Inilah bukti bahwa kendati ada kata-kata yang memiliki makna umum, namun tetap saja akan selalu terikat dengan tata aturan permainannya.
Dalam ungkapan lain, kata-kata yang tergolong ke dalam family resemblances itu tidaklah benar-benar sama secara umum, tetapi hanya “serupa tapi tak sama”, dan karenanya harus tetap patuh pada tata aturan permainannya.
Kedua, kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan dalamkemajemukan.
Ketiga, kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.
Wittgenstein juga menyorot tentang adanya kata-kata yang sepintas tampak memiliki makna umum dalam penggunaan konteks yang berbeda-beda. Bagi Wittgenstein, ini bukan berarti bahwa terdapat pengertian umum dalam sebuah kata meskipun digunakan dalam konteks yang berbeda-beda. Ini yang dianalogikannya sebagai “aneka kemiripan keluarga” (family resemblances):bahwa dalam sebuah keluarga tetap saja selalu terdapat perbedaan-perbedaan bentuk wajah, pikiran, sifat, dan perilaku, meskipun memiliki dasar kemiripan yang dekat.Ia tidak benar-benar sama, karenanya tidak bisa dinyatakan sebagai memiliki makna yang umum, tetapi hanya sekadar memiliki kemiripan-kemiripan yang dekat.
Kata “aku”, “engkau”, misalnya, memiliki makna yang umum yang melekat pada pihak si penutur (aku) dan lawan tuturan (engkau) dalam konteks penggunaan apa pun juga. Tetapi ini tidak berarti bahwa kata tersebut benar-benar steril dari konteks penggunaannya untuk dinyatakan sebagai adanya makna umum. Ia tetap terikat dengan konteks penggunaannya, tata aturan permainannya, sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai pembantah terhadap teori tata permainan bahasa ini. Kata “aku” atau “engkau” jika digunakan dalam keseharian, non-formal, memiliki makna sebagai keabrakan antara penutur dan lawan tuturan. Tetapi jika digunakan dalam situasi formal, missal terhadap atasan atau orang yang lebih tua, ia akan menimbulkan kesan tidak etis, tidak pas, tidak menghormati. Inilah bukti bahwa kendati ada kata-kata yang memiliki makna umum, namun tetap saja akan selalu terikat dengan tata aturan permainannya.
Dalam ungkapan lain, kata-kata yang tergolong ke dalam family resemblances itu tidaklah benar-benar sama secara umum, tetapi hanya “serupa tapi tak sama”, dan karenanya harus tetap patuh pada tata aturan permainannya.
1.3
Beberapa
Kritik terhadap Wittgenstein
Pemikiran
filsafat analisis Wittgenstein, khususnya tentang language game, memberikan
pengaruh yang sangat besar kepada para pemikir sesudahnya, di antaranya
Jean-Francois Lyotard saat meneliti tentang masyarakat industrial. Namun
demikian, ada bebarapa kritikan yang penting diajukan dalam studi ini.
Pertama,
peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam “ordinary use” (penggunaan bahasa biasa
yang baku) dan “ordinary usage” (penggunaan bahasa biasa dalam kebiasaan
sehari-hari) melengkapi konsep language
game Wittgenstein tentang
pentingnya untuk
membangun
batasan yang ketat antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari.
Sebagaimana yang dicontohkan di bagian sebelumnya, kata biasa baku “permintaan dan penawaran” (demand and supply) adalah khas ilmu Ekonomi. Kekhasan ini harus dipertahankan sebagai standard tetap dalam menggunakan istilah-istilah baku sesuai dengan disiplinnya masing-masing. Meskipun kata “permintaan dan penawaran” juga ditemui dalam penggunaan bahasa biasa sehari-hari, namun jika tidak ditetapkan secara baku sesuai disiplinnya, maka hal itu akan memicu kekacauan makna bahasa.
Jadi, Ryle melengkapi konsep language game Wittgenstein yang berhenti pada batas konteks penggunannya an sich, dengan menambahkan kategorisasi tata penggunaan bahasa ke level ilmiah dan non-ilmiah, kendati sama-sama bersumber pada penggunaan bahasa biasa.
Sebagaimana yang dicontohkan di bagian sebelumnya, kata biasa baku “permintaan dan penawaran” (demand and supply) adalah khas ilmu Ekonomi. Kekhasan ini harus dipertahankan sebagai standard tetap dalam menggunakan istilah-istilah baku sesuai dengan disiplinnya masing-masing. Meskipun kata “permintaan dan penawaran” juga ditemui dalam penggunaan bahasa biasa sehari-hari, namun jika tidak ditetapkan secara baku sesuai disiplinnya, maka hal itu akan memicu kekacauan makna bahasa.
Jadi, Ryle melengkapi konsep language game Wittgenstein yang berhenti pada batas konteks penggunannya an sich, dengan menambahkan kategorisasi tata penggunaan bahasa ke level ilmiah dan non-ilmiah, kendati sama-sama bersumber pada penggunaan bahasa biasa.
Kedua, kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa niscaya mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari tindakan hakikat manusia sebagai sebuah Ada. “Pemahaman” (atau “mengerti”) harus dipandang sebagai sikap fundamental untuk “mengerti” cara berada manusia sendiri. Itulah sebabnya makna sebuah kata atau bahasa harus digali dari segala unsur yang melengkapi bangunan kata itu sendiri, karena makna sepenuhnya terdapat dalam kata-kata itu sendiri; kata-kata selalu mengandung makna yang penuh;[ dan merupakan makna utuh Being yang membangunnya.
Tegasnya, setiap pengucap kata pastilah mengusung kepentingannya, keinginannya, yang intens dalam makna kata-katanya.
Contoh konkret tentang kritik ini ialah bagaimana George Soros, sang panglima kapitalisme global, saat menelurkan istilah: “Faliabilitas, Refleksitas, dan Open Society”. Ketiga istilah Soros ini mengusung kepentingan ekspnasi bisnis globalnya agar masyarakat lokal menerima dengan positif kehadiran “orang-orang luar” untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayahnya. Tentu saja, konsep language game dalam contoh ini tidak memadai untuk menjelaskan bagaimana cara memaknai konteks penggunaan tiga istilah Soros itu. Karena makna dasar yang dituju oleh Soros sama sekali tidak berkaitan dengan bahasa biasa dan penggunaannya dalam tata permainan sehari-hari, tetapi menuju kepada “masa depan” panjang kapitalsime globalnya.
Ketiga, sulitnya menerapkan filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein ke dalam kegiatan pemahaman atau penafsiran teks.
Apa itu teks? Menurut Paul Ricoeur,teks adalah “any discourse fixed by writing.” Istilah “discourse” ala Ricoeur ini menunjuk pada bahasa saat dikomunikasikan, baik dalam bentuk lisan atau tulisan. Untuk kasus discourse dalam bentuk lisan, menurut Ricoeur, tidak akan membutuhkan banyak persoalan, lantaran tercipta komunikasi langsung, terlekat langsung (include) dengan si pengucap, mulai intonasi hingga gesture.Tetapi untuk discourse yang “fixed by writing”, ia tidak memiliki situasi itu, terjadi keterputusan cakrawala penulis dan pembaca. Di sinilah persoalan memahami dan menafsirkan teks begitu rumit. Ricoeur tampak sangat terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer tentang pentingnya fusion of horizons (peleburan cakrawala) penulis dan pembacanya untuk mendialogkan teks dan pembacanya.
Sampai di sini, mudah dimengerti mengapa Ricoeur lalu mencerabut teks dari dunia penulis/pengucap/pembicara. Teks adalah korpus yang otonom, mandiri, memiliki totalitasnya sendiri.Karenanya, siapa pun Anda, sangat bisa untuk membaca teks lalu menarik makna darinya secara mandiri, karena dengan cara demikianlah teks itu menyatakan dirinya kepada Anda. Pada gilirannya, pemikiran ini meniscayakan pluralisme produksi makna teks.
Ricoeur lalu memunculkan dua kata kunci tentang teks yang sangat penting dalam pemikirannya, yakni what is said (apa yang dikatakan teks) dan the act of saying (cara teks mengungkapkannya). Kata kunci pertama, what is said, adalah meaning yang dikandung sebuah teks. Makna teks begitu sudah dituliskan menjadi begitu otonom, mandiri, lepas sepenuhnya dari konteks penulisnya. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, lantaran teks tidak menyediakan ruang komunikasi langsung antara penulis dan pembacanya. Tidak adanya ruang ini otomatis menjadikan teks berbicara sendiri secara otonom kepada siapa pun yang membacanya, yang tentu saja sangat bergantung pada soal intensi, kepentingan, dan kapasitas pembacanya.
Pada level what is said ini, maksud penulis teks menjadi tidak tersekat pada standar makna apa pun. Bahkan Ricoeur menyebut penulis teks sebagai pembaca pertama, dengan makna yang dituliskannya pada teksnya, lalu diterima oleh pembaca kedua, ketiga, dan seterusnya, yang niscaya akan terus menghasilkan pergeseran makna dari pembaca pertama itu sendiri (penulisnya).
Sementara the act of saying adalah bagaimana proses teks menyingkapkan makna dirinya kepada pembaca dalam sebuah event interpretasi, seperti peristiwa hermeneutis fusion of horizons, yang dengan metodologi tersebut terjalin kesalingterbukaan antara teks di satu sisi dengan pembacanya di sisi lain. Proses “teks membuka diri” dalam menyatakan kandungan maknanya kepada setiap pembacanya (the act of saying) membutuhkan “pembaca yang membuka dirinya” kepada teks, yang kemudian dari event hermeneutis itu, lahirlah produksi-produksi makna.
Sampai di sini, bila dibandingkan dengan teori interpretasi teks Ricouer tersebut, apa yang bisa kita lakukan untuk memahami sebuah teks, apalagi teks suci, dengan berpegang pada filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein?
Bagaimana, misalnya, kita mampu membedakan sebuah istilah atau ungkapan teks itu bersifat formal atau tidak, memiliki keumuman makna tetapi berbeda konteks penggunaannya atau tidak, hingga bersandar pada language game (konteks penggunaan) apa yang tidak kita alami langsung proses penyampaiannya?
Mari coba kita terapkan dua teori ini pada kata “qawwamun” dalam ayat al-Qur’an. Dalam ayat “ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ bima faddalallahu ba’dhahum ‘ala ba’dhin…” itu, kata “qawwamun” bila dikaitkan dengan konteks historisnya, language game ala Wittgenstein, bisa dipahami menunjuk pada situasi kultur patriarkal Arab saat itu. Tetapi, ketika ayat tersebut dibawa ke kehidupan hari ini, misalnya Indonesia yang lebih terbuka dalam soal gender ini, bagaimana kita memahami kata “qawwamun” tersebut? Haruskah pemimpin itu bergender laki-laki? Bagaimana bila ternyata ada perempuan yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat (leadership) dan diterima oleh masyarakat Indonesia untuk menjadi pemimpinnya? Apakah ini berarti bahwa seluruh rakyat muslim Indonesia melanggar makna otentik ayat tersebut, yang karenanya layak diklaim ingkar al-Qur’an dan berdosa besar?
Filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein tidak mampu memproduksi pemahaman logis apa pun terhadap ayat tersebut jika ayat tersebut semata disekatkan pada konteks penggunaannya (historisitasnya) yang patriarchal khas Arab masa itu. Tetapi ayat tersebut akan sangat jauh berbeda produksi penafsirannya bila didekati dengan teori hermeneutika Ricoeur tersebut, misalnya.
Demikianlah. Meski penulis kurang setuju terhadap pemikiran Ricouer dalam hal penegasian pentingnya melibatkan pengetahuan latar psikologis dan antropologis dalam menafsirkan ayat-ayat suci itu (seperti ilmu asbabun nuzul dan asbabul wurud agar teks suci tidak kehilangan konteks asli historisitasnya), pemikiran hermeneutis Ricouer (terutama tentang discourse, event, meaning, what is said, dan the act of saying) sangat berharga untuk dijadikan metodologi interpretasi teks. Ini sangat jauh berbeda dengan pemikiran Wittgenstein tentang bahasa logika, bahasa biasa, dan language game yang gagap untuk digunakan sebagai metodologi interpretasi teks.
Agaknya, dengan uraian komparatif dan pembuktian
tersebut, pemikiran Wittgenstein hanya cocok digunakan untuk memahami makna
bahasa dalam komunikasi langsung (lisan), bukan dalam teks.
1.4 Hakikat
bahasa menurut Ludwig Wittgenstein
Bahasa
tidak saja digunakan untuk mengungkapkan proposisi-proposisi logis tetapi juga
digunakan dalam dan untuk berbagai hal yang berbeda-beda. Dari segi pragmatik,
Wittgenstein memastikan bahwa terdapat keranekaragaman bentuk, cara dan konteks
penggunaan bahasa yang menyulitkan upaya untuk mengasalkan berbagai
keanekaragaman ini pada satu kriteria tertentu.
Menurut
Wittgenstein, bahasa sehari-hari telah cukup untuk menjelaskan masalah-masalah
dalam filsafat. Anggapan ini didasarkan pada asumsi Wittgenstein tentang makna
bahasa. Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat.
Makna kalimat adalah tergantung penggunaannya dalam bahasa sedangkan makna
bahasa adalah tergantung penggunaannya dalam hidup. Karena itu Wittgenstein
menyarankan agar pemahaman terhadap bahasa mesti dianalisis berdasarkan
penggunaannya dalam konteks-konteks tertentu (meaning in use).
Menurut
Wittgenstein, manusia senantiasa terlibat dalam bahasa dan dalam penggunaan
bahasa tersebut kendatipun beranekaragam tetap memiliki aturan tata bahasa
tertentu. Karena itu penyelidikan terhadap penggunaan bahasa dapat dianalisis
berdasarkan aturan tata bahasa tersebut. Wittgenstein menyebut penyelidikan
semacam ini sebagai sebuah penyelidikan gramatikal (Gramamatical
Investigations). Ia menjelaskan bahwa penyelidikan gramatikal merupakan sebuah
klarifikasi gramatikal terhadap penggunaan bahasa dengan intensi untuk
memperlihatkan adanya suatu indikasi yang berlaku secara umum. Indikasi ini
dapat dipandang sebagai sebuah kemiripan dari berbagai macam ragam penggunaan
gramatis bahasa. Tujuan yang hendak dicapai dari penyelidikan gramatikal ini
yaitu untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa dalam berbagai bidang
kehidupan manusia serta spesifikasi yang memberikan karakter pada tiap ragam
penggunaan dalam setiap konteks kehidupan. Dengan menempatkan bahasa dalam
komponen-komponen yang terspesifikasi itu, pemahaman akan bahasa yang
disampaikan menjadi jelas. Singkatnya penyelidikan gramatikal merupakan metode
untuk mendapatkan kejelasan makna penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia.
Apa yang
dimaksudkan dengan bahasa sehari-hari dalam konteks ini tidak hanya merupakan
bahasa lisan tetapi juga bahasa dalam wacana tulisan.
2.4.1 Ciri – ciri
bahasa
Sifat
atau ciri – ciri bahasa, antara lain adalah :
1.
Bahasa adalah sebuah sistem
2.
Bahasa berwujud lambang
3.
Bahasa berupa bunyi
4.
Bahasa bersifat arbiter
5.
Bahasa itu bermakna
6.
Bahasa bersifat konvensional
7.
Bahasa bersifat unik
8.
Bahasa bersifat universal
9.
Bahasa itu bervariasi
10.
Bahasa bersifat produktif
11.
Bahasa bersifat dinamis
12.
Bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial
13.
Bahasa merupakan identitas penuturnya
1.
Bahasa sebagai system
Sebagai
sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Dengan
sistemis, artinya, bahasas itu tersusun menurut suatu pola: tidak tersusun
secara acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, bahasa itu bukan
merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub-sub sistem; atau sistem
bawahan. Di sini dapat disebutkan, antara lain, subsistem fonologi, subsistem
morfologi, subsistem sintaksis dan subsistem semantik. Tiap unsur dalam setiap
subsistem juga tersusun menurut aturan atau pola tertentu, yang secara
keseluruhan membentuk satu sistem. Jika tidak tersusun menurut aturan atau pola
tertentu, maka subsistem itu pun tidak dapat berfungsi.
Sub
sistem bahasa terutama subsistem fonologi, morfologi, dan sintaksis tersusun
secara hierarkial. Artinya, subsistem yang satu terletak di bawah subsistem
yang lain; lalu subsistem yang lain ini terletak pula di bawah subsistem
lainnya lagi. Ketiga subsistem itu (fonologi, morfologi, dan sintaksis) terkait
dengan subsistem semantic. Sedangkan subsistem leksikon yang juga diliputi
subsistem semantic, berada di luar ketiga subsistem struktural itu.
2.Bahasa
sebagai lambang
Lambang
dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam kegiatan ilmiah dalam bidang
kajian yang disebut ilmu semiotika atau semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari
tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia, termasuk bahasa. Dalam semiotika
atau semiologi (yang di Amerika ditokohi oleh Charles Sanders Peirce dan di
Eropa oleh Fendinand de Saussure) dibedakan adanya beberapa jenis tanda, yaitu,
antara lain tanda (sign), lambing (simbol), sinyal (signal), gejala (symptom),
gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon.
Tanda
selain dipakai sebagai istilah generic dari semua yang termasuk kajian
semiotika juga sebagai salah satu dari unsur spesifik kajian semiotika itu,
adalah suatu atau sesuatu yang dapat menandai atau mewakili ide, pikiran,
perasaan, benda, dan tindakan secara langsung dan alamiah. Misalnya, kalau di
kejauhan tampak ada asap membumbung tinggi, maka kita tahu bahwa di sana pasti
ada api, sebab asap merupakan tanda akan adanya api itu.
Berbeda
dengan tanda, lambang atau simbol tidak bersifat langsung dan alamiah. Lambing
menandai sesuatu yang lain secarakonvensional, tidak secara alamiah dan
langsung. Karena itu lambang sering disebut bersifat arbiter, sebaliknya, tanda
serperti yang sudah dibicarakan di atas, tidak bersifat arbiter. Yang dimaksud
arbiter adalah tidak adanya hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambing
dengan yang dilambangkannya.
Oleh
karena itulah, Earns Cassier, seorang sarjana dan filosof mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan
yang tidak terlepas dari symbol. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut
bahasa. Satuan-satuan bahasa, misalnya kata, adalah symbol atau lambang.
Tanda-tanda
itu adalah sinyal gerak isyarat (gesture), gejala, kode, indeks, dan ikon. Yang
dimaksud dengan sinyal atau isyarat adalah tanda yang disengaja yang dibuat
oleh pemberi sinyal agar si penerima sinyal melakukan sesuatu.
3.
Bahasa adalah bunyi
Kata bunyi, yang sering sukar dibedakan
dengan kata suara, sudah biasa kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Secara
teknis, menurut Kridalaksana (1983:27) bunyi adalah kesan pada pusat saraf
sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena
perubahan-perubahan dalam tekanan udara.
Bunyi
bahasa atau bunyi uajaran (speech sound) adalah satuan bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia yang di dalam fonetik diamati sebagai “fon” dan di dalam
fonemik sebagai “fonem”.
4.
Bahasa itu bermakna
Oleh
karena lambang-lambang itu mengacu pada sesuatu konsep, ide, atau pikiran, maka
dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lebih umum dikatakan lambang
bunyi tersebut tidak punya referen, tidak punya rujukan. Makna yang berkenaan
dengan morfem dan kata disebut makna leksikal; yang berkenaan dengan frase,
klausa, dan kalimat disebut makna gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana
disebut makna pragmatic, atau makna konteks.
5.
Bahasa itu arbiter
Kata
arbiter diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. Yang
dimaksud dengan istilah arbiter itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara
lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang
dimaksud oleh lambang tersebut.
Ferdinand
de Saussure (1966:67) dalam dikotominya membedakan apa yang disebut significant
(Inggris: signifier) dan signifie (Inggris: signified). Signifiant adalah
lambang bunyi itu, sedangkan signifie adalah konsep yang dikandung oleh
signifiant.
6.
Bahasa itu konvensional
Meskipun
hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbiter,
tetapi penerimaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu yang bersifat
konfensional. Artinya semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konfensi
bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.
Jadi kalau kearbiteran bahasa pada hubungan antara lambanag-lamabang bunyi
dengan konsep yang dilambangkannya, maka kekonfensionalan bahasa terletak pada
kepatuhan para penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan
konsep yang dilambangkannya.
7.
Bahasa itu produktif
Kata
produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif “
banyak hasilnya” atau lebih tepat “terus menerus menghasilkan” lalu, kalau
bahasa itu dikatakan produktif, maka maksudnya, meskipun unsure-unsur itu
terbatas, tapi dengan unsur-unsur dengan jumlahny ayng terbatas terdapat di
luar satuan-satuan bahasa yang jumlahnya yang tidak terbatas, meski secara
relative sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa.
Keproduktifan
bahasa Indonesia dapat juga dilihat pada jmumlah yang dapat dibuat. Dengan kosa
kata yang menurut Kamus Besar Huruf Bahasa Indonesia hanya berjumlah lebih
kurang 60.000 buah, kita dapat membuat kalimat bahasa Indonesia yang mungkin
puluhan juta banyaknya, termasuk juga kalimat-kalimat yang belum pernah ada
atau pernah dibuat orang.
Keproduktifan
bahasa memang ada batasnya dalam hal ini dapat dibedakan adanya dua macam
keterbatasan, yaitu keterbatasan pada tingkat parole dan keterbatasan pada
tingkat langue. Keterbatasan pada tingkat parole adalah pada ketidak laziman
atau kebelum laziman bentuk-bentuk yang dihasilkan. Sedangkan pada tingkat
langue keproduktifan itu dibatasi karena kaidah atau sistem yang berlaku.
8.
Bahasa itu unik
Unik
artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain.
Lalu, kalau bahasa dikatakan bersifat unik., maka artinya, setiap bahasa
mempunyai cirri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas
ini bisa menyangkut sistem bunyi , sistem pembetukkan kata, sistem pembentukkan
kalimat, atau sistem-sistem lainnya. Salah satu keunikkan bahasa Indonesia
adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis.
Maksudnya, kalau pada kata tertentu di dalam kalimat kita berikan tekanan, maka
makna itu tetap. Yang berubah adalah makna keseluruhan kalimat.
9.
Bahasa itu universal
Selain
bersifat unik, yakni mempunyai sifat atau cirri masing-masing, bahasa itu
bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap
bahasa yang ada di Dunia ini. Ciri-ciri yang universal ini merupakan unsur
bahasa yang paling umum, yang biasa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
bahasa lain.
Karena
bahasa itu berupa ujaran, maka ciri universal dari bahasa yang paling umum
adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vocal dan
konsonan. Tetapi berapa banyak vocal dan konsonan yang dimiliki oleh setiap
bahasa, bukanlah persoalan keuniversalan. Bukti dari keuniversalan bahasa
adalah bahwa setiap bahasa mempunyai satuan-satuan bahasa yang bermakna, entah
satuan yang maknany kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Namun, bagaimana
satuan-satuan itu terbentuk mungkin tidak sama. Kalau pembentukan itu bersifat
khas, hanya dimiliki sebuah bahasa maka hal itu merupakan keunikan dari bahasa.
Kalau ciri itu dimiliki oleh sejumlah bahasa dalam satu hukum atau satu
golongan bahasa, maka ciri tersebut menjadi ciri universal dan keunikan rumpun
atau sub rumpun bahasa tersebut.
Ada
juga yang mengatakan bahwa ciri umum yang dimiliki oleh bahasa-bahasa yang
berada dalam satu rumpun atau sub rumpun, atau juga dimiliki oleh sebagian
besar bahasa-bahasa yang ada di Dunia ini sebagai ciri setengah universal.
Kalau dimiliki oleh semua bahasa yang ada di Dunia ini beru bisa disebut
universal.
10.
Bahasa itu dinamis
Bahasa
adalah satu-satunya milik manusia yang tidak perbah lepas dari segala kegiatan
dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang
berbudaya dan bermasyarakat tak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh
bahasa. Malah dalam bermimpi pun manusia menggunakan bahasa.
Karena
keterkaitan dan keterikatan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya
dalam manusia nya kegiatan manusia tidak tetap dan tidak berubah, maka bahasa
itu juda menjadoi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis.
Karena itulah, bahas itu disebut dinamis.
Perubahahan
yang paling jelas, dan paling banyak adalah pada bidang leksikon dan semantik.
Barang kali, hamper setiap saat ada kata-kata baru muncul sebagai akibat
perubahan dan ilmu, atau ada kata-kata lama yang muncul dengan makna baru. Hal
ini juga dipahami, karen kata sebagai satuan bahasa terkecil, adalah sarana
atau wadah untuk menampung suatu konsep yang ada dalam masyarakat bahasa.
Dengan terjadinya perkembangan kebuidayaan, perkembang ilmu dan tekhnologi,
tentu bermunculan konsep-konsep baru, yang tentunya disertai wadah
penampungnya, yaitu kata-kata atau istilah-istilah baru.
Perubahan
dalam bahasa ini dapat juga bukan terjadi berupa pengembangan dan perluasan,
melainkan berupa kemunduran sejalan dengan perubahan yang dialami masyarakat
bahasa yang bersangkutan. Berbagaio laasan sosial dan politik menyebabkan orang
meninggalkan bahasanya, atau tidak lagi menggunakan bahasanya, lalu menggunakan
bahasa lain. Di Indonesia, kabarnya telah banyak bahasa daerah yang telah
ditinggalkan para penuturnya terutaam dengan alasan sosial. Jika ini terjadi
terus menurus, maka pada suatu saat kelak banyak bahasa yang hanya ada
beradadalam dokumentasi belaka, karena tidak ada lagi penuturnya.
11.Bahasa
itu bervariasi
Setiap
bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakat
bahasa. Yang termasuk dalam masyarakat bahsa adalah mereka merasa menggunakan
bahasa yang sama. Jadi, kalau disebut masyarakat bahasa Indonesia adalah semua
orang yang merasa memiliki dan menggunakan bahasa Indonesia.
Anggota
masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari ber bagai orang dengan berbagai
status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Oleh karena
itu, karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang
mereka gunakan menjadi bervariasi atau beragam, dimana antara variasi atau
ragam yang satu dengan yang lain sering kali mempunyai perbedaan yang besar.
Mengenai
variasi bahasa ini ada tiga istilah yang perlu diketahui, yaitu idiolek,
dialek, dan ragam. Idiolek adalah variasi atau ragam bahasa yang bersifat
perseorangan. Setiap orang tentu mempunyai ciri khas bahasanya masing-masing.
Kalau kita banyak membaca karangan orang yang banyak menulis, misalnya, Hamka,
Sutan Takdir Alisyahbana, Hamingway, atau Mark twain , maka kita akan dapat
mengenali ciri khas atau idiolek pengarang-pengarang itu.
Dialek
adalah variasi bahasa yang di gunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada
suatu tempat atau suatu waktu. Variasi bahasa berdasarkan tempat ini lazim
disebut dengan nama dialek regional , dialek area, atau dialek geografi.
Sedangkan variasi bahasa yang digunakan sekelompok anggota masyarakat dengan
status sosial tertentu disebut dialek sosial atau sosiolek.
Ragam
atau ragam bahasa adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi, keadaan,
atau untuk keperluan tertentu. Untuk situasi formal digunakan ragam bahasa yang
disebut ragam baku atau ragam standar, untuk situasi yang tidak formal
digunakan ragam yang tidak baku atau ragam nonstandar. Dari sarana yang
digunakan dapat dibedakan adanya ragam lisan dan ragam tulisan. Untuk keperluan
pemakaiannya dapat dibedakan adanya ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa
jujrnalistik, ragam bahasa sastra, ragam bahasa militer, dan ragam bahasa
hukum.
12.
Bahasa itu manusiawi
Kalau
kita menyimak kembali cirri-ciri bahasa, yang sudah dibicarakan dimuka, bahwa
bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia,
bersifat arbitrer, bermakna, dan produktif, maka dapat dikatakan bahwa binatang
tidak mempunyai bahasa. Bahwa binatang dapat berkomunikasi dengan sesama
jenisnya, bahkan juga dengan manusia, adalah memang suatu kenyataan. Namun,
alat komunikasinya tidaiklah sama dengan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa.
Dari
penelitian para pakar terhadap alat komunikasi binatang bisa disimpulkan bahwa
satu-satuan komunikasi yang dimiliki binatang-binatang itu bersifat
tetap.sebetulnya yang membuat alat komunikasi manusia itu, yaitu bahasa,
produktif dan dinamis, dalam arti dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu yang
baru, berbeda dengan alat komunikasi binatang, yang hanya itu-itu saja dan
statis , tidak dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu yang baru, bukanlah
terletak pada bahasa itu dan alat komunikasi binatang itu, melainkan pada
perbedaan besar hakikat manusia dan hakikat binatang. Manusia sering
disebut-sebut sebagai homosapiens makhluk yang berpikir, homososio makhluk yang
bermasyarakat, homofabel makhluk pencipta alat-alat dan juga animalrasionale
makhluk rasional yang beerakal budi. Maka dengan segala macam kelebihannya itu
jelas manusia dapat memikirkan apa saja yang lalu, yang kini, dan yang masih
akan datang, serta menyampaikannya kepada orang lain melalui alat
komunikasinya, yaitu bahasa. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa alat
komunikasi manusia yang namanya bahasa, adalah bersifat manusiawi, dalam arti
hanya milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia.
3.1.
Kesimpulan
Ludwig Wittgenstein adalah seorang
tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga
sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa
Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus,
maka Pada era Wittgenstein II, di tandai dengan karyanya Philosophical Investigations, yang ditulis dengan gaya yang sangat
longgar, cenderung sintetik, bahkan dekat dengan cerita detektif. Suatu bahasa
baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan
sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai simbol tunggal dengan makna
terbatas (terang, fakta yang dikandung realitas).Dalam bahasa logika itu,
terdapat tiga aspek mendasar yaitu:Teori
Gambar,atomisme logis,konsep
formal dan konsep nyata.
Ada dua fase pokok yang membedakan
pemahaman antara Wittgenstein II dengan Wittgenstein
I yaitu:Filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) dan Tata permainan bahasa (language game).Dalam
tata permainan bahasa pemikiran Wittgenstein sangat terang muncul dalam
pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah
kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan
makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar