Biografi Sugiyanto
Aku dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba
kekurangan, akan tetapi sangat kental akan suasana religiusnya. Tidak seperti
anak-anak sekarang yang begitu lahir bisa mereka langsung menikmati manisnya
kehidupan.Ada cerita menarik waktu kecil saya yang menggambarkan betapa serba
kekurangannya aku ketika itu. Waktu itu untuk mendapatkan beras 1 cangkir pun
sangat susah di karenakan sedang terjadi masa paceklik.Sehingga untuk makan
sehari hari beras 1cangkir tersebut harus di campur dengan nasi tiwul. Yang
namanya anak kecil pasti tidak suka dengan nasi tiwul termasuk juga aku, maka
dari itu orang tuaku rela tidak makan nasi asalkan anaknya bisa makan nasi.
Begitu besar pengorbanan orang tuaku waktu itu, mereka rela makan tiwul hanya
agar aku bisa makan nasi. Dahulu aku hanya memiliki beberapa potong celana
pendek dan baju, tapi masih memiliki satu sarung!. Dan sarung bagiku bisa jadi
apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion,
kesehatan sampai menjadi alat untuk menakut-nakuti teman.
Kalau sedang mencuci baju, sarung bisa dikemulkan pada
badanku. Kalau sedang mencuci celana, sarung bisa aku jadikan bawahan. Kalau
sedang mencari sisa-sisa panen kacang di sawah orang kaya, sarung itu bisa aku
jadikan karung. Kalau perut sedang lapar dan dirumah tidak ada makanan, sarung
bisa diikatkan erat-erat dipinggang jadilah dia pengganjal perut yang andal.
Kalau mau sholat jadilah dia benda yang penting untuk menghadap Tuhan. Kalau
sedang kedinginan, jadilah dia selimut. Kalau sarung itu sobek masih bisa
dijahit. Kalau ditempat jahitan itu robek lagi, masih bisa ditambal. Kalau
tambalanya pun robek, sarung itu belum tentu akan pensiun. Masih bisa
dirobek-robek lagi, bagian yang besar bisa digunakan sebagai sarung bantal dan
bagian yang kecil bisa dijadikan popok bayi. Apapun kondisi keluargaku waktu
itu orang tuaku selalu mengajarkan aku untuk selalu bersyukur karena kita tidak
sampai mengalami kelaparan, baik kurang, cukup atau lebih kita harus tetap
bersyukur, sabar dan harus menikmati semuanya dengan apa adanya.
Waktu pun berlalu silih berganti sampai aku beranjak
kanak-kanak, sudah saatnya aku masuk dunia sekolah. Waktu itu aku tidak di sekolahkan
TK (taman kanak-kanak) terlebih dahulu karena keterbatasan biaya,jadi aku
langsung masuk SDN 1 Klego sebagai siswa titipan. Maksud orang tuaku menitipkan
aku di sekolah adalah agar aku mengenal dulu dunia pendidikan, akan tetapi
ternyata aku sudah mampu mengikuti pelajaran yang di berikan oleh guru-guruku
dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Sehingga aku langsung di naikkan kelas ke
kelas 2. Perlu di ketahui jarak antara rumahku dengan sekolah + 1 km,
sehingga setiap harinya aku menempuh perjalanan + 2 km dengan berjalan kaki.Setiap berangkat ke sekolah
aku tidak pernah di beri uang saku, yang penting sarapan pagi tidak pernah
lupa.Akan tetapi, walaupun orang tuaku tidak pernah memberi uang saku,aku tetap
semangat menuntut ilmu. Aku sadar dengan keadaan ekonomi keluargaku waktu
itu,yang tidak memungkinkan memberiku uang saku. Karna bisa untuk makan
sehari-hari pun kami sudah sangat bersyukur. Di samping itu orangtua ku ingin
mengajariku untuk hidup sederhana dan prihatin terhadap keadaan.Tidak seperti
anak-anak sekolah sekarang bila tidak di kasih uang saku maka mereka tidak mau
sekolah. Dari situlah aku mengerti makna arti kehidupan yang
sebenarnya,sekarang aku bisa hidup mandiri tanpa harus bergantung kepada orang
tua lagi.
Sejak SD aku sering kali masuk peringkat 5 besar di kelas,setelah
lulus SD aku melanjutkan pendidikan di salah satu SMP swasta di jakarta,tapi
aku hanya bertahan 8 bulan saja di karenakan tidak betah tinggal di jakarta.Aku
mencoba meneruskan pendidikanku di kampung halaman,dan mendaftar di SMPN 1
Klego. Sekolah tersebut merupakan sekolah favorit di desaku. Tidak heran banyak
siswa pintar di sana,akan tetapi aku tidak patah semangat. Aku terus
belajar,belajar dan belajar. Sampai akhirnya aku berhasil menduduki peringkat 3
di kelasku dan bertahan sampai lulus dari sekolah tersebut. Ada cerita menarik
sewaktu sekolah di SMP. Orang tuaku memberi uang saku Rp 1000,- untuk 3 hari,artinya
satu hari cuma di jatah Rp 300,-. Uang Rp 1000 itu sudah termasuk uang
jajannya,berarti dalam 1 minggu aku hanya di beri uang saku Rp 2000,- cukup
tidak cukup iya hanya itu. Waktu itu transportasi yang biasa aku gunakan untuk
menuju sekolah adalah bis karena jarak rumah ke sekolah lumayan jauh + 7
km. Ongkos naik sekali naik bis adalah
Rp 100,- pergi pulang menjadi Rp 200,- jadi setiap harinya aku hanya jajan
seratus rupiah. Karena ingin uang jajan lebih, aku putuskan untuk bekerja
mencari batu di sungai. Batu-batu tersebut lalu aku kumpulkan setelah terkumpul
banyak aku jual kepada tengkulak yang setiap hari datang ke desaku. Dengan
demikian aku punya uang jajan lebih dan sebagian untuk membayar SPP tanpa harus
meminta orang tua. Uang dari hasil kerjaku itu aku sisihkan sebagian untuk
ibuku,aku hanya mengambil secukupnya saja. Dari situ juga aku belajar hidup
mandiri sampai aku lulus SMP.
Setelah lulus SMP aku mendapat tawaran dari paman
untuk sekolah di jakarta. Seolah tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu aku
langsung menerima tawaran tersebut. Di jakarta aku sekolah di SMK Karya Wijaya
Kusuma mengambil jurusan akuntansi. Di jakarta aku sekolah juga sambil bekerja
sebagai penjaga warung,dari situ aku belajar bagaimana cara
berdagang,istilahnya sambil menyelam minum air,jadi sambil menyerap ilmu
berdagang. Setelah lulus SMK aku mulai terapkan ilmu yang aku dapatkan. Aku
mulai merintis usaha dengan membuka warung kecil-kecilan di dalam Yayasan
Wijaya Kusuma. Sedikit demi sedikit usahaku mulai maju dan berkembang hingga
sekarang. Saat usaha sedang berkembang tersebut aku mendapat tawaran untuk
menjadi Tata Usaha di Yayasan Wijaya Kusuma. Awal mulanya aku menolak karena
aku sudah nyaman sekali dengan usaha dagangku. Tetapi pemilik Yayasan terus
memaksa dan bahkan sempat mengancam akan menutup warungku jika tidak mau
menjadi Tata Usaha. Akhirnya aku tidak punya pilihan lain, dari pada warungku
di tutup dan aku tidak punya penghasilan lain lebih baik aku terima tawaran
tersebut. Sambil bekerja aku tetap berdagang sebagai penghasilan sampingan. Sedangkan
warungku aku suruh kakak sepupuku untuk menjaganya, tentu saja aku menggajinya
tiap bulan.Aku bersyukur usahaku tidak berhenti,sebalik semakin berkembang, dan
aku yakin ini berkat do’a orang tua dan orang-orang baik di sekitarku. Sampai
saat ini aku tetap setia bekerja di Yayasan tempatku menuntut ilmu dan tempatku
berkarya. Sudah sejak lama orang tuaku dan guru-guruku menyarankan aku untuk
kuliah, akan tetapi aku masih enggan untuk kuliah di karenakan masih senang
dengan bekerja.
Akhirnya setelah sekian lama bekerja niat untuk kuliah
itu muncul dengan sendirinya, di tambah dengan tuntutan dari pekerjaan yang
menyarankan pegawai tata usaha bertitle sarjana. Pada awal mulanya aku bingung
mau kuliah dimana, sampai aku mendapat informasi dari teman yang sudah lebih
dahulu kuliah di Universitas Indra Prasta PGRI (UNINDRA). Akupun mencoba
mendaftar di UNINDRA kelas Ekstensi dan aku bersyukur bisa di terima di sini.
Di UNINDRA aku mengambil jurusan teknik informatika dengan harapan aku bisa
menyerap ilmu komputer yang aku pelajari di sini. Ternyata benar apa kata
temanku di UNINDRA biaya kuliah sangat terjangkau bagi para karyawan. Harapanku
adalah aku dan teman-temanku bisa lulus dari UNINDRA dengan predikat baik,
syukur-syukur bisa lebih baik lagi. Tapi itu semua tergantung niat dan usaha
kita untuk medapatkannya, MAN JADDA WA JADDA (barang siapa yang
bersungguh-sungguh niscaya dia akan berhasil). Itulah do’a dan harapanku
kedepannya.Bagiku Usaha tanpa do’a adalah sombong dan do’a tanpa usaha adalah bohong.
Itulah sedikit gambaran perjalanan hidupku sampai saat ini. Biografi ini benar
adanya tanpa ada unsur rekayasa sedikitpun. Semoga pembaca dapat memetik
pelajaran dari biografi ini dan dapat menginspirasi bagi kita semua....aammiiinn.
Ini ceritaku,,bagaimana ceritamu...???
Ini ceritaku,,bagaimana ceritamu...???
Sekian terima kasih
Salam damai
Sugie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar